Sistem Among dalam Pendidikan Kepramukaan
Mengacu pasal 29 Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka, makadinyatakan bahwa pendidikan kepramukaan jika ditinjau dari hubungan antara anggota dewasa dengan anggota muda bersendikan Sistem Among. Sistem Among dalam Gerakan Pramuka berarti mendidik anggota Gerakan Pramuka menjadi insan merdeka jasmani, rohani, dan pikirannya, disertai rasa tanggung jawab dan kesadaran akan pentingnya bermitra dengan orang lain.
Sistem among mewajibkan anggota Gerakan Pramuka melaksanakan prinsip-prinsip kepemimpinan sebagai berikut:
Sistem among mewajibkan anggota Gerakan Pramuka melaksanakan prinsip-prinsip kepemimpinan sebagai berikut:
- lng ngarso sung tulodo maksudnya di depan menjadi teladan;
- lng madyo mangun karso maksudnya di tengah membangun kemauan;
- Tut wuri handayani maksudnya dari belakang memberi dorongan dan pengaruh yang baik ke arah kemandirian.
- Kasih sayang, kejujuran, keadilan, kepatutan, kesederhanaan, kesanggupan berkorban dan rasa kesetiakawanan sosial;
- Disiplin disertai inisiatif dan tanggungjawab terhadap diri sendiri, sesama manusia, negara dan bangsa, alam dan lingkungan hidup, serta bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hubungan anggota dewasa dengan anggota muda merupakan hubungan khas, yaitu setiap anggota dewasa wajib memperhatikan perkembangan anggota muda secara pribadi agar pembinaan yang dilakukan sesuai dengan tujuan Gerakan Pramuka. Anggota dewasa berupaya secara bertahap menyerahkan pimpinan kegiatan sebanyak mungkin kepada anggota muda, untuk selanjutnya anggota dewasa secara kemitraan memberi semangat, dorongan dan pengaruh yang baik.
Sistem Among sebagai Prinsip Pendidikan
Sistem Among adalah prinsip dan metode pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantoro. Menurut Supriyanto (2008), Sistem Among merupakan gagasan otentik putra Indonesia, yang digali dari kearifan lokal. Sistem ini sangat sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia karena mendasarkan proses pada sikap asih, asah dan asuh (care and dedication based on love).
Sistem Among bersendikan pada dua hal yaitu:- Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya
- Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri.
Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari Sistem Among adalah membangun anak didik untuk menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani dan rokhani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan Sistem Among, setelah anak didik menguasai ilmu, mereka didorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta, rasa, dan karsa.
Pengertian Sistem Among
- Sistem Among adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem pendidikan Taman Siswa, dengan maksud mewajibkan pada pendidikn agar mengingati dan mementingkan kodrat-iradatnya anak-anak, dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya. Sistem ini merupakan koreksi terhadap sistem pendidikan zaman kolonial Belanda yang menekankan pada aspek "perintah, paksaan dengan hukuman”.
- Sistem Amon menekankan pentingnya memberi tuntunan dan menyokong pada anak-anak di dalam mereka bertumbuh dan berkembang karena kodrat-iradatnya sendiri, melenyapkan segala yang merintangi pertumbuhan dan perkembangan sendiri itu serta mendekatkan anak-anak kepada alam dan masyarakatnya.
- Perintah dan paksaan hanya boleh dilakukan jika anak-anak tidak dapat dengan kekuatannya sendiri menghindarkan mara-bahaya yang akan menimpanya, sedangkan hukuman tak boleh lain dari pada sifatnya kejadian yang sebetulnya harus dialami, sebagai buah atau akibat kesalahannya; hukuman yang demikian itu lalu semata-mata menjadi penebus kesalahan, bukan siksa dari orang lain (Tauchid, 1972:99-101 dalam 50 Tahun Taman siswa).
- Ki Hadjar Dewantara dalam Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari UGM tahun 1956 dalam 60 tahun Taman Siswa menjelaskan analog hubungan guru-siswa serupa dengan hubungan petani dan tanamannya. Untuk itu guru terhadap para murid harus berfikir, berperasaan dan bersikap sebagai Juru Tani terhadap tanamannya. Orang bercocok-tanam harus takluk kepada kodratnya tanaman, janganlah tanaman ditaklukkan pada kemauan si-petani. Haruslah si petani menyerahkan dirinya, yakni menghilangkan kemurkaan dirinya, dengan iklas dan ridla kepada kepentingan tanamannya dan mengejar kesuburan tanamannya semata-mata.
- Kesuburan tanamannya inilah yang menjadi kepentingan si juru-tani. Haruslah ia tahu akan perbedaan antara padi, jagung, dna tanaman lainnya dalam keperluan masing-masing untuk dapat bertumbuh dengan subur dan dapat berhasil. Karena itu perlulah si petani tahu, insaf dan mengerjakan segala ilmu atau pengetahuan pertanian, yang benar dan baik. Dalam pada itu janganlah membeda-bedakan pula dari mana asalnya pupuk, asalnya alat, atau asalnya ilmu pengetahuan pertanian, dan sebagainya; segala yang dapat enyuburkan tanaman menurut kodrat dan irodatnya harus dipakai olehnya (petani).
Makna pendidikan dalam Sistem Among
Pendidikan tidak dimaknai dengan paksaan. Lebih tegas lagi dikatakan: ”...apabila kita mengetahui, bahwa sesungguhnya perkataan ”opvoeding” atau ”paedagogiek” itu tiadalah dapat diterjemahkan dengan bahasa kita. Panggulawentah (bahasa Jawa) itu bukan memberi pengertian ”opvoeding” , sebab panggulawentah itu hanya pekerjaannya si dukun bayi. Yang hampir semaksud yaitu perkataan kita Momong, Among, dan Ngemong” (Ki Hajar Dewantara pidato pada rapat umum Taman Siswa di Malang 2 Pebruari 1930 dalam Bagian Pertama Pendidikan, 1977: 21).
Dasar Pendidikan
- Dalam buku karya Ki Hadjar Dewantara bagian Pertama (1977: 13-14) dijelaskan tentang dasar pendidikan sebagai berikut. Pendidikan tidak memakai dasar ”regering, tucht en orde” tetapi ”orde en vrede” (tertib dan damai, tata-tentrem). Pendidik wajib menjaga atas kelangsungan kehidupan bathin sang anak, dan haruslah anak dijauhkan dari tiap-tiap paksaan. Namun demikian, pendidik juga tidak akan ”nguja” (membiarkan) anak-anak. Pendidik mempunyai kewajiban mengamati, agar anak dapat bertumbuh menurut kodrat.
- ”Tucht” (hukuman) itu dimaksudkan untuk mencegah kejahatan. Sebelum terjadi kesalahannya, aturan hukumannya sudah harus tersedia. Misalnya, barang siapa datang terlambat tentu akan dapat hukuman berdiri di muka kelas. Hukuman semacam itu, pertama adalah tiada setimpal dengan kesalahannya. Kedua, tiap-tiap aturan yang mendahului kenyataannya, itulah bertentangan dengan sifatnya roch manusia, yang tiada dapat dimasukkan dalam peraturan.
- Tanda buktinya adalah untuk mengatur ketertiban pergaulan hidup, sudah ada macam-macam dan ribuan peraturan. Tetapi setiap hari orangpun masih selalu membuat aturan baru. Itulah tandanya setiap peraturan tiada akan bisa sempurna. ”Orde” (ketertiban) yang dimaksudkan dalam pendidikan barat jelaslah hanya paksaan dan hukuman. Dari sebab itu dasar pendidikan menjadi orde en vrede, tertib dan damai, inilah yang akan dapat menentukan syarat-syarat sendiri, yang tiada akan bisa bersifat paksaan. Dan oleh karenanya, maka hukuman yang tiada setimpal dengan kesalahannya pun tidak akan terdapat.
- Kesemuanya itu merupakan syarat-syarat jika pendidikan hendak mendatangkan manusia yang merdeka dalam arti kata yang sebenar-benarnya. Yaitu lahirnya tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan .... dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri. Oleh karena itu dalam pendidikan harus senantiasa diingat, bahwa kemerdekaan iu bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung kepada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfbeschikking) (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 4).
Maksud pendidikan
- Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak- anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggauta masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan keahagiaan setingi-tingginya. Oleh karen itu, haruslah diingat bahwa pendidikan hanya suatu ”tuntunan” di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini berarti, bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan dan kehendak kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup jelas hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak tidak lain adalah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu, yang ada karena kekuasaan kodrat. Kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 20-21).
Peralatan pendidikan
- Ki Hadjar Dewantara (1977: 29) menjelaskan yang dimaksud dengan perkataan ”peralatan” itu sebenarnya alat-alat yang pokok, cara-caranya mendidik. Dengandemikian sebenarnya cara-cara itu teramat banyaklah jumlahnya. Akan tetapi dari sekian banyak itu dapatlah dibagi dalam beberapa kategori, sebagai berikut: (a) memberi contoh (voorbeeld); (b) pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming); (c) pengajaran (leering, wulang-wuruk); (d) perintah, paksaan, dan hukuman (regeering en tucht); (e) laku (zelfbeheersching, zelfdiscipline); (f) pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngroso, beleving). Alat-alat itu tidak perlu dipilih atau dilakukan semuanya, bahkan ada yang tidak mufakat dengan salah satu dari yang termaktup tersebut. Seringkali seorang pendidik mementingkan sesuatu bagian dan pada umumnya memilih cara-cara itu dihubungkan dengan jenis keadaan, khususnya kondisi usia anak.
Sistem Paguron
- Menurut Hariyadi (1992:266) perguruan, berasal dari bahasa Jawa Paguron, mempunyai arti tempat dimana guru tinggal, dapat juga berarti ajarannya itu sendiri. Dengan demikian suatu paguron selain sebagai sekolah juga sebagai tempat tinggal guru. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan para guru dan murid tidak terbatas pada jam-jam resmi belajar, tapi kegiatan tersebut diadakan sesudah jam-jam resmi belajar. Dengan demikian suasana perguruan menjadi hidup dengan berbagai kegiatan oleh raga, kesenian, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut berada dibawah bimbingan dan pengawasan para guru. Jam paguron Tamansiswa adalah jam kehidupan keluarga sepanjang hari dan dikenal bahwa tugas tersebut selama 24 jam.
- Perguruan sebagai tempat tinggal pamong bersama murid dan sekaligus sebagai tempat berguru (sekolah) dikenal dengan istilah “School worningtype” merupakan ciptaan Ki Hajar Dewantara. Dalam perguruan semacam itu, hubungan kekeluargaan antara pamong dan siswa, antara siswa dan siswa sangat erat. Hubungan kekeluargaan ini meresap pada sanubari baik pada siswa maupun pamong. Hal ini sangat berbeda dengan sekolah sitem Barat, karena sesudah jam pelajaran selesai, maka sepilah suasana sekolah tersebut.
Lihat topik/entri terkait :
Ki Hajar Dewantoro
Sumber :
- Jurnal Kependidikan vol.39, No. 2, November 2009, hal. 129-140 : SISTEM AMONG PADA MASA KINI: KAJIAN KONSEP DAN PRAKTIK PENDIDIKAN, oleh Muhammad Nur Wangid, Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, FIP Universitas Negeri Yogyakarta, diakses tanggal 30 September 2013) dimuat dalam media online : journal.uny.ac.id diakses tanggal 30 September 2013
- Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka, Kwarnas Gerakan Pramuka, Jakarta, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar